Jumat, 13 Desember 2013

“Hukum Pernikahan Seseorang yang Sudah Berzina”



Oleh: Fathimah Az-Zahra’

Semakin berkembangnya zaman, maka kehidupan manusia didunia berubah seiring dengan perkembangan tekhnologi. Kehidupan yang bergaya trend barat banyak digemmari oleh beberapa kalangan, termasuk dikalangan remaja.
Jika pada zaman era klasik banyak diantara remaja bahkan orang tua yang malu jika anaknya hamil diluar nikah. Namun, saat ini bukanlah yang tabu lagi jika seorang wanita menikah sedangkan dirinya tengah mengandung.
Pada persoalan ini, beberapa fuqoha’ berbeda pendapat. Sebagian ulama’ mensahkan pernikahan tersebut dan ada sebahagian ulama’ yang mengharamkan secara mutlak pernikahan tersebut. Allah ta’ala berfirman dalam surat An-Nur ayat 3 yang berbunyi:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak akan menikahi melainkan dengan wanita yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak menikah melainkan dengan laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik. Dan hal itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (Q.S An-Nur:3)
Dalam mentafsirkan ayat para ulama’ berbeda pendapat:
Ibnu Abbas mengatakan: “Tidaklah laki-laki pezina itu berzina kecuali dengan pezina perempuan atau perempuan musyrik.”
Sa’id bin Jabir berkata: “Tidaklaha seorang laki-laki pezina itu ketika dia berzina kecuali dengan seorang pezina juga atau perempuan musyrik begitu juga perempuan musyrik yang berzina tidak berzina kecuali dengan yang serupa dengannya.”[1]
Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu? Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
1.      Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz 'hurrima' atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
2.      Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
3.      Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur: 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah. Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal". (HR. Thabrani dan Daruquthuni).
Beberapa diantara sahabat yang melarang mutlak menikahi wanita pezina yakni,
a.       Ali bin Abi Tholib : “Dia itu haram selamanya walaupun menikahinya dalam keadaan apapun”
b.      Abu Hanifah, Imam Malik, Ahmad : “Apabila ia hamil baik hasil hubungan dengannya atau orang lain maka haram menikahinnya.”[2]

Pada kesimpulannya boleh menikahi seorang wanita pezina hendaknya ia dalam keadaan yang sudah bertaubat kepada Allah ta’ala, melepaskan diri dari perbuatan yang keji, menyesal atas perbuatannya an berniat tidak akan mengulang kembali perbuatan tersebut. Jika seseorang ingin menikahi wanita tersebut, maka ia harus menunggu sekali haidh. Namun, jika wanita tersebut hamil, tidak boleh melakukan akad nikah kecuali setelah melahirkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw yang melarang seseorang yang mengalirkan air keladang orang lain.[3] Walaahu’alam.



[1] Jami’ul Bayan Tafsir Ath Thobari, Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ath Thobari, Juz 10, Darul Fikr Beirut, Cet. I Th. 1421 H/2001 M.
[2] http://errozzelharb.wordpress.com/2011/01/23/hukum-menikah-dengan-pezina/
[3] Fatwa-fatwa Tentang Wanita jld. 2 hal. 140

0 komentar:

Posting Komentar

 
;