Oleh: Fathimah Az-Zahra’
Semakin berkembangnya
zaman, maka kehidupan manusia didunia berubah seiring dengan perkembangan
tekhnologi. Kehidupan yang bergaya trend barat banyak digemmari oleh beberapa
kalangan, termasuk dikalangan remaja.
Jika pada zaman era
klasik banyak diantara remaja bahkan orang tua yang malu jika anaknya hamil
diluar nikah. Namun, saat ini bukanlah yang tabu lagi jika seorang wanita menikah
sedangkan dirinya tengah mengandung.
Pada persoalan ini,
beberapa fuqoha’ berbeda pendapat. Sebagian ulama’ mensahkan pernikahan
tersebut dan ada sebahagian ulama’ yang mengharamkan secara mutlak pernikahan
tersebut. Allah ta’ala berfirman dalam surat An-Nur ayat 3 yang
berbunyi:
الزَّانِي لَا
يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا
زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina
tidak akan menikahi melainkan dengan wanita yang berzina, atau perempuan yang
musyrik dan perempuan yang berzina tidak menikah melainkan dengan laki-laki
yang berzina atau laki-laki yang musyrik. Dan hal itu diharamkan atas
orang-orang mukmin.” (Q.S An-Nur:3)
Dalam mentafsirkan ayat
para ulama’ berbeda pendapat:
Ibnu Abbas mengatakan:
“Tidaklah laki-laki pezina itu berzina kecuali dengan pezina perempuan atau
perempuan musyrik.”
Sa’id bin Jabir berkata:
“Tidaklaha seorang laki-laki pezina itu ketika dia berzina kecuali dengan
seorang pezina juga atau perempuan musyrik begitu juga perempuan musyrik yang
berzina tidak berzina kecuali dengan yang serupa dengannya.”[1]
Jumhurul Fuqaha
mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk
menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita
yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya
mengharamkan itu? Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal
ini.
1.
Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz
'hurrima' atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih
(dibenci).
2.
Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah
memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu
diturunkan.
3.
Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah
dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di
antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.
(QS. An-Nur: 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar
As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan
seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina
tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah. Pendapat mereka ini
dikuatkan dengan hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW
pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat
untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan
akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal".
(HR. Thabrani dan Daruquthuni).
Beberapa diantara sahabat yang melarang mutlak
menikahi wanita pezina yakni,
a.
Ali bin Abi Tholib : “Dia itu haram selamanya
walaupun menikahinya dalam keadaan apapun”
b.
Abu Hanifah, Imam Malik, Ahmad : “Apabila ia
hamil baik hasil hubungan dengannya atau orang lain maka haram menikahinnya.”[2]
Pada kesimpulannya boleh menikahi seorang
wanita pezina hendaknya ia dalam keadaan yang sudah bertaubat kepada Allah ta’ala,
melepaskan diri dari perbuatan yang keji, menyesal atas perbuatannya an berniat
tidak akan mengulang kembali perbuatan tersebut. Jika seseorang ingin menikahi
wanita tersebut, maka ia harus menunggu sekali haidh. Namun, jika wanita
tersebut hamil, tidak boleh melakukan akad nikah kecuali setelah melahirkan.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw yang melarang seseorang yang mengalirkan
air keladang orang lain.[3] Walaahu’alam.
0 komentar:
Posting Komentar