Perbedaan
Pendapat tentang Mengucapkan Selamat Natal
Diantara tema yang mengandung
perdebatan setiap tahunnya adalah ucapan selamat Hari Natal. Para ulama
kontemporer berbeda pendapat didalam penentuan hukum fiqihnya antara yang
mendukung ucapan selamat dengan yang menentangnya. Kedua kelompok ini bersandar
kepada sejumlah dalil.
Meskipun pengucapan selamat hari
natal ini sebagiannya masuk didalam wilayah aqidah namun ia memiliki hukum
fiqih yang bersandar kepada pemahaman yang mendalam, penelaahan yang rinci
terhadap berbagai nash-nash syar’i.
Ada dua pendapat didalam
permasalahan ini :
1. Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu
Utsaimin—semoga Allah merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh
Ibrahim bin Muhammad al Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal
hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama
mereka. Allah tidak meredhoi adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya.
Sesungguhnya didalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh
(menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan.
Diantara bentuk-bentuk tasyabbuh
:
1. Ikut serta didalam hari raya
tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan
mereka ke neger-negeri islam.
Mereka juga berpendapat wajib
menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari sikap menyerupai
perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk
menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim didalam menyerupai
perayaan hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka
serta menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus didalam ibadah
mereka
2. Jumhur ulama
kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Hari Natal. Di antaranya Syeikh
Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku
berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan
selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al
Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau
non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin,
terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan
seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja
dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang
Allah swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman
Allah swt :Artinya :
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS.
Al-Mumtahanah: 8)
Terlebih lagi jika mereka
mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah swt :
وَإِذَا
حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ
اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا ﴿٨٦﴾
Artinya :# “Apabila kamu diberi
penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang
serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An
Nisaa : 86)
Lembaga Riset
dan Fatwa Eropa
juga membolehkan pengucapan selamat ini jika mereka bukan termasuk orang-orang
yang memerangi kaum muslimin khususnya dalam keadaan dimana kaum muslimin
minoritas seperti di Barat. Setelah memaparkan berbagai dalil, Lembaga ini
memberikan kesimpulan sebagai berikut : Tidak dilarang bagi seorang muslim
atau Markaz Islam memberikan selamat atas perayaan ini, baik dengan lisan
maupun pengiriman kartu ucapan yang tidak menampilkan simbol mereka atau
berbagai ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam
seperti salib. Sesungguhnya Islam menafikan fikroh salib, firman-Nya :
وَقَوْلِهِمْ
إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا
قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ
فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ
وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا ﴿١٥٧﴾
Artinya : “Padahal mereka
tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh
ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 157)
Kalimat-kalimat yang digunakan
dalam pemberian selamat ini pun harus yang tidak mengandung pengukuhan atas
agama mereka atau ridho dengannya. Adapun kalimat yang digunakan adalah kalimat
pertemanan yang sudah dikenal dimasyarakat.
Tidak dilarang untuk menerima
berbagai hadiah dari mereka karena sesungguhnya Nabi saw telah menerima
berbagai hadiah dari non muslim seperti al Muqouqis Pemimpin al Qibthi di Mesir
dan juga yang lainnya dengan persyaratan bahwa hadiah itu bukanlah yang
diharamkan oleh kaum muslimin seperti khomer, daging babi dan lainnya.
Diantara para ulama yang
membolehkan adalah DR. Abdus Sattar Fathullah Sa’id, ustadz bidang tafsir dan
ilmu-ilmu Al Qur’an di Universitas Al Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustadz
Syari’ah di Univrsitas Qatar, Ustadz Musthafa az Zarqo serta Syeikh Muhammad
Rasyd Ridho. (www.islamonline.net)
Adapun MUI (Majelis Ulama
Indonesia) pada tahun 1981 sebelum mengeluarkan fatwanya, terlebih dahulu
mengemukakan dasar-dasar ajaran Islam dengan disertai berbagai dalil baik dari
Al Qur’an maupun Hadits Nabi saw sebagai berikut :
A) Bahwa ummat Islam
diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain
dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan.
B) Bahwa ummat Islam tidak boleh
mencampur-adukkan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain.
C) Bahwa ummat Islam harus
mengakui ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa Almasih bin Maryam sebagaimana pengakuan
mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain.
D) Bahwa barangsiapa berkeyakinan
bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa Almasih itu
anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik.
E) Bahwa Allah pada hari kiamat
nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya agar
mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab: Tidak.
F) Islam mengajarkan bahwa Allah
SWT itu hanya satu.
G) Islam mengajarkan ummatnya
untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT
serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan.
Juga berdasarkan Kaidah Ushul
Fikih
”Menolak
kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahan
(jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan
mushalihnya tidak dihasilkan)”.
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :
- Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
- Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
- Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.
Mengucapkan Selamat Hari Natal
Haram kecuali Darurat
Diantara dalil yang digunakan
para ulama yang membolehkan mengucapkan Selamat Hari Natal adalah firman Allah
swt :
لَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
Artinya : “Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al
Mumtahanah : 8)
Ayat ini merupakan rukhshoh
(keringanan) dari Allah swt untuk membina hubungan dengan orang-orang yang
tidak memusuhi kaum mukminin dan tidak memerangi mereka. Ibnu Zaid mengatakan
bahwa hal itu adalah pada awal-awal islam yaitu untuk menghindar dan
meninggalkan perintah berperang kemudian di-mansukh (dihapus).
Qatadhah mengatakan bahwa ayat
ini dihapus dengan firman Allah swt :
….فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ ﴿٥﴾
Artinya : “Maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At Taubah :
5)
Adapula yang menyebutkan bahwa
hukum ini dikarenakan satu sebab yaitu perdamaian. Ketika perdamaian hilang
dengan futuh Mekah maka hukum didalam ayat ini di-mansukh (dihapus) dan yang
tinggal hanya tulisannya untuk dibaca. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini
khusus untuk para sekutu Nabi saw dan orang-orang yang terikat perjanjian
dengan Nabi saw dan tidak memutuskannya, demikian dikatakan al Hasan.
Al Kalibi mengatakan bahwa mereka
adalah Khuza’ah, Banil Harits bin Abdi Manaf, demikian pula dikatakan oleh Abu
Sholeh. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah Khuza’ah.
Mujahid mengatakan bahwa ayat ini
dikhususkan terhadap orang-orang beriman yang tidak berhijrah. Ada pula yang
mengatakan bahwa yang dimaksud didalam ayat ini adalah kaum wanita dan
anak-anak dikarenakan mereka tidak ikut memerangi, maka Allah swt mengizinkan
untuk berbuat baik kepada mereka, demikianlah disebutkan oleh sebagian ahli
tafsir… (al Jami’ li Ahkamil Qur’an juz IX hal 311)
Dari pemaparan yang dsebutkan
Imam Qurthubi diatas maka ayat ini tidak bisa diperlakukan secara umum tetapi
dikhususkan untuk orang-orang yang terikat perjanjian dengan Rasulullah saw
selama mereka tidak memutuskannya (ahli dzimmah).
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban
kafir dzimmi adalah sama persis dengan kaum muslimin di suatu negara islam.
Mereka semua berada dibawah kontrol penuh dari pemerintahan islam sehingga
setiap kali mereka melakukan tindakan kriminal, kejahatan atau melanggar
perjanjian maka langsung mendapatkan sangsi dari pemerintah.
Didalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Janganlah
kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian
bertemu salah seorang diantara mereka di jalan maka sempitkanlah jalannya.”
(HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan sempitkan jalan
mereka adalah jangan biarkan seorang dzimmi berada ditengah jalan akan tetapi
jadikan dia agar berada ditempat yang paling sempit apabila kaum muslimin ikut
berjalan bersamanya. Namun apabila jalan itu tidak ramai maka tidak ada
halangan baginya. Mereka mengatakan : “Akan tetapi penyempitan di sini
jangan sampai menyebabkan orang itu terdorong ke jurang, terbentur dinding atau
yang sejenisnya.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XIV hal 211)
Hadits “menyempitkan jalan” itu
menunjukkan bahwa seorang muslim harus bisa menjaga izzahnya dihadapan
orang-orang non muslim tanpa pernah mau merendahkannya apalagi direndahkan.
Namun demikian dalam menampilkan izzah tersebut janganlah sampai menzhalimi
mereka sehingga mereka jatuh ke jurang atau terbentur dinding karena jika ini
terjadi maka ia akan mendapatkan sangsi.
Disebutkan didalam sejarah bahwa
Umar bin Khottob pernah mengadili Gubernur Mesir Amr bin Ash karena perlakuan
anaknya yang memukul seorang Nasrani Qibti dalam suatu permainan. Hakim Syuraih
pernah memenangkan seorang Yahudi terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib
dalam kasus beju besinya.
Sedangkan pada zaman ini,
orang-orang non muslim tidaklah berada dibawah suatu pemerintahan islam yang
terus mengawasinya dan bisa memberikan sangsi tegas ketika mereka melakukan
pelanggaran kemanusiaan, pelecehan maupun tindakan kriminal terhadap seseorang
muslim ataupun umat islam.
Keadaan justru sebaliknya,
orang-orang non muslim tampak mendominanasi di berbagai aspek kehidupan manusia
baik pilitik, ekonomi, budaya maupun militer. Tidak jarang dikarenakan dominasi
ini, mereka melakukan berbagai penghinaan atau pelecehan terhadap simbol-simbol
islam sementara si pelakunya tidak pernah mendapatkan sangsi yang tegas dari
pemerintahan setempat, terutama di daerah-daerah atau negara-negara yang
minoritas kaum muslimin.
Bukan berarti dalam kondisi
dimana orang-orang non muslim begitu dominan kemudian kaum muslimin harus
kehilangan izzahnya dan larut bersama mereka, mengikuti atau mengakui
ajaran-ajaran agama mereka. Seorang muslim harus tetap bisa mempertahankan ciri
khas keislamannya dihadapan berbagai ciri khas yang bukan islam didalam kondisi
bagaimanapun.
Tentunya diantara
mereka—orang-orang non muslim—ada yang berbuat baik kepada kaum muslimin dan
tidak menyakitinya maka terhadap mereka setiap muslim diharuskan membalasnya
dengan perbuatan baik pula.
Al Qur’an maupun Sunah banyak
menganjurkan kaum muslimin untuk senantiasa berbuat baik kepada semua orang
baik terhadap sesama muslim maupun non muslim, diantaranya : surat al
Mumtahanah ayat 8 diatas. Sabda Rasulullah saw,”Sayangilah orang yang ada di
bumi maka yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. Thabrani) Juga sabdanya
saw,”Barangsiapa yang menyakiti seorang dzimmi maka aku akan menjadi lawannya
di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Perbuatan baik kepada mereka
bukan berarti harus masuk kedalam prinsip-prinsip agama mereka (aqidah) karena
batasan didalam hal ini sudah sangat jelas dan tegas digariskan oleh Allah swt
:
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
Artinya : “Untukmu agamamu,
dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun : 6)
Hari Natal adalah bagian dari
prinsip-prinsip agama Nasrani, mereka meyakini bahwa di hari inilah Yesus
Kristus dilahirkan. Didalam bahasa Inggris disebut dengan Christmas, Christ
berarti Kristus sedangkan Mass berarti masa atau kumpulan jadi bahwa pada hari
itu banyak orang berkumpul mengingat / merayakan hari kelahiran Kristus. Dan
Kristus menurut keyakinan mereka adalah Allah yang mejelma.
Berbuat kebaikan kepada mereka
dalam hal ini adalah bukan dengan ikut memberikan selamat Hari Natal
dikarenakan alasan diatas akan tetapi dengan tidak mengganggu mereka didalam
merayakannya (aspek sosial).
Pemberian ucapan selamat Natal
baik dengan lisan, telepon, sms, email ataupun pengiriman kartu berarti sudah
memberikan pengakuan terhadap agama mereka dan rela dengan prinsip-prinsip
agama mereka. Hal ini dilarang oleh Allah swt dalam firman-Nya,
إِن
تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ
إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ
عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ﴿٧﴾
Artinya : “Jika kamu kafir
Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai
kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu
kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar : 7)
Jadi pemberian ucapan Selamat
Hari Natal kepada orang-orang Nasrani baik ia adalah kerabat, teman dekat,
tetangga, teman kantor, teman sekolah dan lainnya adalah haram hukumnya,
sebagaimana pendapat kelompok pertama (Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibn Baaz
dan lainnya) dan juga fatwa MUI.
Namun demikian setiap muslim yang
berada diantara lingkungan mayoritas orang-orang Nasrani, seperti muslim yang
tempat tinggalnya diantara rumah-rumah orang Nasrani, pegawai yang bekerja
dengan orang Nasrani, seorang siswa di sekolah Nasrani, seorang pebisnis muslim
yang sangat tergantung dengan pebisinis Nasrani atau kaum muslimin yang berada
di daerah-daerah atau negeri-negeri non muslim maka boleh memberikan ucapan
selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya tersebut
disebabkan keterpaksaan. Ucapan selamat yang keluar darinya pun harus tidak
dibarengi dengan keredhoan didalam hatinya serta diharuskan baginya untuk
beristighfar dan bertaubat.
Diantara kondisi terpaksa
misalnya; jika seorang pegawai muslim tidak mengucapkan Selamat Hari Natal
kepada boss atau atasannya maka ia akan dipecat, karirnya dihambat, dikurangi
hak-haknya. Atau seorang siswa muslim apabila tidak memberikan ucapan Selamat
Natal kepada Gurunya maka kemungkinan ia akan ditekan nilainya, diperlakukan
tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di suatu
daerah atau negara non muslim apabila tidak memberikan Selamat Hari Natal
kepada para tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan tekanan sosial dan
lain sebagainya.
مَن
كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ
غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٠٦﴾
Artinya : “Barangsiapa yang
kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An Nahl : 106)
Adapun apabila keadaan atau
kondisi sekitarnya tidaklah memaksa atau mendesaknya dan tidak ada pengaruh
sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak atau perlakuan orang-orang Nasrani
sekelilingnya terhadap diri dan keluarganya maka tidak diperbolehkan baginya
mengucapkan Selamat Hari Natal kepada mereka.
Hukum Mengenakan
Topi Sinterklas
Sebagai seorang muslim sudah
seharusnya bangga terhadap agamanya yang diimplementasikan dengan berpenampilan
yang mencirikan keislamannya. Allah swt telah menetapkan berbagai ciri khas seorang
muslim yang membedakannya dari orang-orang non muslim.
Dari sisi bisnis dan muamalah,
islam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba yang merupakan warisan
orang-orang jahiliyah. Dari sisi busana, islam memerintahkan umatnya untuk
menggunakan busana yang menutup auratnya kecuali terhadap orang-orang yang
diperbolehkan melihatnya dari kalangan anggota keluarganya. Dari sisi
penampilan, islam meminta kepada seorang muslim untuk memelihara jenggot dan
mencukur kumis.
Islam meminta setiap umatnya untuk
bisa membedakan penampilannya dari orang-orang non muslim, sebagaimana sabda
Rasulullah saw,”Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik, panjangkanlah
jenggot dan cukurlah kumis.” (Muttafaq Alaih)
Islam melarang umatnya untuk
meniru-niru berbagai prilaku yang menjadi bagian ritual keagamaan tertentu
diluar islam atau mengenakan simbol-simbol yang menjadi ciri khas mereka
seperti mengenakan salib atau pakaian khas mereka.
Terkadang seorang muslim juga
mengenakan topi dan pakaian Sinterklas didalam suatu pesta perayaan Natal
dengan teman-teman atau bossnya, untuk menyambut para tamu perusahaan yang
datang atau yang lainnya.
Sinterklas sendiri berasal dari
Holland yang dibawa ke negeri kita. Dan diantara keyakinan orang-orang Nasrani
adalah bahwa ia sebenarnya adalah seorang uskup gereja katolik yang pada usia
18 tahun sudah diangkat sebagai pastor. Ia memiliki sikap belas kasihan,
membela umat dan fakir miskin. Bahkah didalam legenda mereka disebutkan bahwa
ia adalah wakil Tuhan dikarenakan bisa menghidupkan orang yang sudah mati.
Sinterklas yang ada sekarang
dalam hal pakaian maupun postur tubuhnya, dengan mengenakan topi tidur, baju
berwarna merah tanpa jubah dan bertubuh gendut serta selalu tertawa adalah
berasal dari Amerika yang berbeda dengan aslinya yang berasal dari Turki yang
selalu mengenakan jubah, tidak mesti berbaju merah, tidak gendut dan jarang
tertawa. (disarikan dari sumber : http://h-k-b-p.blogspot.com)
Namun demikian topi tidur dengan
pakaian merah yang biasa dikenakan sinterklas ini sudah menjadi ciri khas
orang-orang Nasrani yang hanya ada pada saat perayaan Hari Natal sehingga
dilarang bagi setiap muslim mengenakannya dikarenakan termasuk didalam
meniru-niru suatu kaum diluar islam, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Siapa
yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” (Muttafaq Alaih)
Tidak jarang diawali dari sekedar
meniru berubah menjadi penerinaan dan akhirnya menjadi pengakuan sehingga bukan
tidak mungkin bagi kaum muslimin yang tidak memiliki dasar keimanan yang kuat
kepada Allah ia akan terseret lebih jauh lagi dari sekedar pengakuan namun bisa
menjadikannya berpindah agama (murtad)
Akan tetapi jika memang seseorang
muslim berada dalam kondisi terdesak dan berbagai upaya untuk menghindar
darinya tidak berhasil maka ia diperbolehkan mengenakannya dikarenakan darurat
atau terpaksa dengan hati yang tidak redho, beristighfar dan bertaubat kepada
Allah swt, seperti : seorang karyawan supermarket miliki seorang Nasrani,
seorang resepsionis suatu perusahaan asing, para penjaga counter di perusahaan
non muslim untuk yang diharuskan mengenakan topi sinterklas dalam menyambut
para tamunya dengan ancaman apabila ia menolaknya maka akan dipecat.
Wallahu A’lamhttp://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hukum-mengucapkan-selamat-natal.htm
0 komentar:
Posting Komentar