Oleh: Fathimah
Az-Zahra’
I.
PENDAHULUAN
Setiap
individu memiliki sebuah argumen, terkadang ia mengedapankan fikrah atau manhaj
yang ia pegang. Namun, pedoman hidupa kita tetap sama yakni, al-qur’an dan
sunnah. Hingga tujuan dalam mengarungi sebuah kehidupanpun sama. Hanya saja,
kita berada dalam naungan yang berbeda. Bagaikan nahkoda yang memiliki strategi
masing-masing dalam melakukan sebuah navigasi dan arahan bagi awak kapal untuk
berlayar pada tujuan yang akan ditempuhnya.[1]
Allah U berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَ أَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الْأَسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah
disempuranakn untuk kamu agamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai islam itu menjadi agamamu.” (Q.S. Al-Maidah: 3)
Pada zaman
dahulu dimana Rasulullah r masih hidup, para sahabat selalu mengembalikan setiap permasalahan kepada
beliau. Jika terjadi sebuah pertentangan atau perbedaan pendapat diantara para
sahabat, maka Rasululloh r menjelaskan titik permasalahannya dan sirnalah perselisihan yang terjadi.
Baik melalui wahyu yang turun kepada Rasululloh r ataupun perkataan beliau.
Akan tetapi,
pada masa ketika Rasululloh r wafat. Mulailah perselisihan terjadi dikalangan ulama’ namun, bukan pada
persoalan aqidah. Banyak sebab yang akhirnya terjadi beberapa perbedaan
pendapat dan hal ini akan dipaparkan pada makalah ini.
II.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ikhtilaf,
Macam dan Hukumnya.
A. Pengertian Iktilaf
Ihktilaf yakni, berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, baik itu perbedaan
dalam rupa, warna, bahasa, pikiran, pendapat atau yang lainnya. Terkadang dapat
diartikan dengan perselisihan.[2]
Dalam kitab Ar-Raghib mendefinisikan ikhtilaf dengan:
والإختلاف : أن يأخذ كل واحد طريقا
غير طريق الأخر فى حاله أو قوله.[3]
“Ikhtilaf adalah seseorang yang mengambil jalan atau cara yang
berbeda dengan jalan yng lainnya, baik dalam keadaannya atau perkataannya.”
B. Macam-macam Ikhtilaf
Ikhtilaf dalam islam terbagi
menjadi dua bagian:
a. Ikhtilaf yang tercela.
Yakni, ikhtilaf yang tercela serta fanatik dan ikhtilaf tersebut
dicela oleh Allah U dan ummat hendaknya berhati-hati dengan perkara tersebut. Sebagimana
kehati-hatian para ahlu kitab dalam memperselisihkan para Nabi-Nabi mereka
dengan apa-apa yang Allah U datangkan kepada mereka. Segala bentuk larangan, perselisihan, dan yang
telah ditetapkan aqidah serta ushul agama diantara sahabat Rasululloh r tidak ada yang melakukan perselisihan seperti ini.
b. Ihktilaf yang terpuji
Yaitu, ikhtilaf yang diperbolehkan dan Allah U tidak mencela serta tidak ada larangan dalam hal itu, dan perselisihannya
tidak jauh dari pembahasan seputar hal-hal yang biasa atau perkara ijtihadiyah
seperti dalam perkaran dhoniyud dalalah dan hal ini terjadi dikalangan
para sahabat.[4]
C. Hukum Ikhtilaf
Tidak ada satupun ikhtilaf yang disamarkan keadaanya pada ummat,
pada ummat yang terdahulu, ummat yang
ada pada zaman saat ini dan telah terjadi pada zaman sahabat Nabi.[5]
Ketika mengetahui hukum dalam syari’at islam, maka kita akan menemukan tiga
macam hukum didalam melakukan ikhtilaf.
a.
Bentuk pertama
Pendapat bahwa ikhtilaf merupakan perkara yang sangat penting,
keutamaan dalam kedudukannya sangat tinggi dan keterangan syar’i. Maka, dalam
hal ini hukum ikhtilaf menjadi kewajiban dan keutamaan yang sudah
diputuskan Allah U bagi hamba-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya berbunyi:
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentunya Dia jadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang yang diberi rahmat
oleh oleh Tuhanmu.” (Q.S Hud : 118-119)
b.
Bentuk yang Kedua
Pendapat bahwa ikhtilaf merupakan suatu sikap yang terpuji dan
rahmat bagi ummat serta sumber yang kuat bukan hal yang lemah dan aib, ikhtilaf
juga termasuk tabi’at dari fiqih islamiyah.[6]
Maka, hukum ihtilaf tersebut dalam islam diperbolehkan.
c.
Bentuk Ketiga
Pendapat bahwa sesungguhnya ikhtilaf itu tercela, dengan hal itu
menimbulkan dampak pada perilaku manusia serta mendatangkan bahaya bagi mujtami’
islamiy, dan dengannya menimbulkan perpecahan yang tinggi. Maka, hukum ikhtilaf
tersebut tidak diperbolehkan dan terlarang.[7]
Sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya berbunyi:
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah rasul serta
ulil amri diantara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (al-qur’an) dan rasul (sunnah). Jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama bagi mu dan
lebih baik akibatnya.” (Q.S An-Nisa’
: 59)
2. Bagimana Terjadinya Ikhtilaf
Dikalangan Shahabat?
Perbedaan
pendapat (ikhtilaf) merupakan hal yang past terjadi, bahkan hal ini juga
terjadi dikalangan sahabat pada masa Rasululloh r, seperti halnya perbedaan pendapat saat Rasululloh r memerintahkan sahabat pergi ke Bani Quraidhoh, beliau mengatakan:
لاَ يُصَلَيْنَ
أَحَدٌ العَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَة
Artinya: “Janganlah
sekali-kali salah seorang diantara kamu sholat ‘Ashar kecuali di Bani
Quraidhoh.” Hingga tibalah waktu sholat sedangkan para sahabat masih
didalam perjalanan. Sebagian para sahabat berpendapat bahwa tidak akan sholat
sampai di tempat tujuan, dan sebagian lagi berpendapat bahwa beliau tidak
bermaksud demikian kemudian melaksanakan sholat. Maka, kejadian tersebut
terdengan oleh Rasululloh r dan beliau tidak mencela salah satupun dari kalangan sahabat.[8]
Saat
Rasululloh r wafat maka, perselisihanpun masih sempat terjadi hingga akhirnya Abu Bakar
t terpilih menjadi khalifah setelah Rasululloh r. Begitu juga dengan tempat penguburan Rasululloh pun menjadi perdebatan
diantara kalangan sahabat. Apakah Rasululloh akan dikuburkan di mekkah
sebagaimana anak-anak beliau? Atau di Baitul Maqdis dimana tempat para Nabi
terdahulu? Atau di Madinah tempat berkembangnya dakwah islam? Hingga beberapa
kelompok manusia berdatangan dikediaman wafatnya beliau dan terjadi perbedaan
diantara kelompopk tersebut sampai datang Abu Bakar t dan mendengar berita tersebut. Kemudian Abu Bakar t memutuskan bahwa para Nabi dikuburkan di tempat dimana ia wafat.[9]
3. Sebab Terjadinya ikhtilaf
Ikhtilaf merupakan salah satu cabang dari fiqih islamiyah dinatara para fuqoha’
sebab ia merupakan perkara yang sudah menjadi tabi’at. Beberapa diantaranya
sebab ikhtilaf yakni:
a. Ada dalil yang belum sampai kepada seseorang, sehingga
salah dalam menentukan sebuah hukum.
Hal ini bukanlah perkara yang tidak pernah terjadi dimasa
sahabat, pada masa sahabatpun juga pernah terjadi. Sebagaimana contoh yang
terjadi saat Umar bin Khottob tengah menuju negeri Syam. Ditengah perjalanan
diberitakan bahwa di negeri tersebut tengah terjangkit wabah penyakit tha’un.
Oleh beliau perjalanan dihentikan, kemudian bermusyawarah dengan para sahabat
anshar dan muhajirin. Pendapat yang kuat adalah keputusan untuk kembali pulang.
Dan sebelumnya Abdurrahman bin ‘Auf datang karena ada suatu keperluan. Ia pun
berkata, “Aku punya penyelesaian masalah ini. Bahwa Rasululloh r bersabda:
إذا سمعتم به في أرض فلا تقدموا
عليه، وإن وقع وأنتم فيها فلا تخرجوا فراراً منه
“Jika kalian
tengah mendengar suatu daerah tengah terjangkit suatu penyakit, maka jangan
datang kesana. Jika telah datang wabah ditempat mu, maka janganlah keluar dari
tempat tersebut.” (HR. Bukhory dan Muslim
dari Abdurrahman bin ‘Auf)
b. Dalil sudah
datang kepada seseorang, namun dianggap tidak layak sebagai hujjah.
Suatu
hadist yang telah samapi kepada seseorang, tetapi ia tidak dapat dipercaya
dengan orang yang membawakannya dan menganggap bahwa si pembawa berita telah
menyelisihi perawi (pembawa riwayat) yang lebih kuat. Oleh karena itu mengambil
pendapat perawi yang dianggap lebih kuat.
c. Hadits telah
sampai pada seseorang, akan tetapi ia lupa.
Allah
U merupakan Dzat yang tidak pernah lupa. Berapa banyak orang
yang lupa trhadap suatu hadits bahkan lupa dengan ayat al-qur’an.
رسول الله صلى الله عليه وسلّم «صلَّى ذات يوم في أصحابه فأسقط آية
نسياناً»، وكان معه أُبي بن كعب رضي الله عنه، فلمَّا انصرف من صلاته قال: «هلا
كنت ذَكَّرتنيها»
“Rasululloh
r pada suatu sholat bersama para sahabat dan lupa pada
ayat tertentu, saat itu ada juga Ubai bin Ka’ab. Selepas sholat, beliau
bersabda, ‘Kenapa engkau tidak mengingatkan ku?”(HR. Abu Daud dalam bab. Sholat:907)
Dan
Allah U berfirman yang artinya berbunyi:
“Kami
akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa,
kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui yang terang
dan yang tersembunyi.” (Q.S
Al-‘Ala: 6-7)
d. Hadits yang
telah datang kepada seseorang, namun tidak difahami sebagaimana mestinya.
Seperti
dalam contoh dari ayat Al-Qur’an,
{وَإِنْ كُنتُم مَّرْضَى
أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لَـامَسْتُمُ
النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُواْ مَآءً فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً...} سورة
النساء: 43
Para
ulama’ berbeda pendapat tentang makna " أو لا مستم النساء"
sebagian memahami, yang dimaksudkan adalah segala bentuk sentuhan. Sebagian
yang lainnya memahami, bahwa yang dimaksudkan adalah sentuhan dengan
menggunakan syahwat. Yang lainnya memahami dengan jima’, ini merupakan pendapat
Ibnu Abbas t.
Jika kita memahami dengan benar, maka yang
lebih benar yakni dengan makna jima’.
e. Seorang yang
tidak mengetahui bahwa hadist tersebut telah dimansukhkan atau dinaskhkan.
Seorang
ulama’ menerima hadits dengan derajat yang shahih. Kemudian juga mampu memahami
dengan benar, akan tetapi tetapi hadits tersebut telah mansukh. Seorang ahli
ilmu yang memang tidak mengetahui mansukhnya sutu hadits tentunya
dimaafkan, karena sebelumnya ia belum mengetahui nasikhnya.
f. Beranggapan
bahwa dalil yang telah disampaikan bertentangan dengan nash atau ijma’
yang dipandang lebih kuat.
Suatu
dalil telah sampai kepada seseorang, namun ia menganggapnya bertentangan dengan
nash dan ijma’ yang lebih kuat. Kasus semacam ini sering terjadi
dalam perbedaan pendapat diantara para imam. Sering seseorang menukil suatu
yang dianggap ijma’, tetapi ketika dicermati ternyata bukan ijma’.
g. Seorang
ulama’ menempuh dengan dalil yang lemah atau berdalih dengan pendapat yang
lemah.
Contoh
yang menggunakan hadits lemah sebagai dalil:
Dinatara
ulama’ ada yang berpendapat sholat tasbih adalah sunnah. Sholat ini terdiri
dari dua rakaat. Setiap rakaatnya dibaca al-fatihah, kemudian membaca tasbih
sebanyak 15 kali. Demikian juga dalam ruku’ dan sujud, hingga selesai sholat.
Ulama’
berpendapat bahwa sholat tasbih merupakan bid’ah yang dibenci, hadits yang
menunjukkan adanya sholat ini tidak shohih. Yang berpendapat seperti ini diantaranya Imam Ahmad, “sholat tasbih
tidak berasal dari Rasululloh r.”
Syaikh
islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata, “sungguh hadits tersebut didustakan
atas nama Rasulluloh r.”
III.
PENUTUP
Perkara ikhtilaf memang telah terjadi sejak zaman dahulu, bahkan
pada zaman sahabat ikhtilaf telah terjadi. Hal ini disebabkan karena
perbedaan pendapat serta pemahaman diantara mereka. Bahkan perbedaan nash yang
telah sampai kepada mereka, selain itu juga karen aperbedaan pemahaman juga
pandangan sahabt terhadap ilmu yang telah didapat.
Namun demikian, meskipun berbeda pendapat dalam suatu masalah mereka tetap
teguh memelihara kesatuannya. Sehingga jauh dari berbagai perpecahan dan
pertikaian. Wallahu’alam.
0 komentar:
Posting Komentar